Di dunia
pertanian, pestisida dimanfaatkan untuk mengendalikan populasi hama
tanaman. Cara ini digunakan sebab dianggap lebih mudah, praktis, dan dapat
diproduksi secara besar-besaran. Keuntungan lain karena pestisida mudah
diangkut dan gampang disimpan. Namun, bukan berarti penggunaan pestisida tidak
menimbulkan dampak buruk. Bak pisau bermata dua, dibalik manfaatnya bagi
industri pertanian, pestisida menghadirkan ancaman kesehatan yang mengerikan. Bahaya pestisida semakin nyata akibat penggunaannya yang
tidak bijaksana.
Penggunaan
pestisida berisiko pada gangguan kesehatan, baik dalam jangka panjang atau pun
pendek. Semakin sering seseorang berhubungan
dengan pestisida, semakin besar pula risiko yang harus ditanggungnya. Pestisida
dapat meracuni manusia tidak hanya pada saat digunakan, tetapi juga saat
mempersiapkan, setelah penyemprotan dan saat penyimpanan.
Pestisida meracuni manusia melalui mulut, kulit, dan
pernafasan. Keracunan pestisida paling sering terjadi pada orang yang langsung
melakukan penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing, mual,
muntah-muntah, kejang dan pingsan. Bahkan banyak kasus
keracunan pestisida berujung pada kematian. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per
tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per
tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker,
cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver.
Selain keracunan
langsung, pestisida juga dapat memengaruhi kesehatan orang awam yang tidak
melakukan penyemprotan. Kemungkinan ini terjadi akibat sisa racun (residu)
pestisida yang menempel pada tanaman dikonsumsi oleh manusia. Seseorang yang
mengonsumsi produk tersebut, telah kemasukan racun pestisida melalui makanan
yang dikonsumsi. Racun ini akan terakumulasi dalam tubuh. Semakin tinggi jenis
residu, maka semakin membahayakan kesehatan manusia.
Celakanya, residu
pestisida pada tanaman Indonesia
tergolong tinggi. Rendahnya pemahaman petani terhadap bahaya pestisida
mengakibatkan penggunaan secara serampangan. Untuk jenis tanaman padi dan sayur-sayuran seperti kubis,
tomat, bawang, cabai, sawi dan lain-lainnya, petani secara rutin menyemprot
pestisida dengan frekuensi penyemprotan mencapai lima sampai lima belas kali
dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan
penyemprotan.
Secara ekonomis, tingginya frekuensi penyemprotan
pestisida tidak saja banyak menelan biaya produksi, tetapi juga produk
pertanian Indonesia akan susah diterima oleh pasar internasional. Negara
maju umumnya tidak mentolelir adanya residu pestisida diatas ambang batas pada
bahan makanan impor. Inilah salah
satu alasan mengapa produk pertanian Indonesia kerap ditolak kehadirannya di
negara lain. Salah satu harian nasional pernah melaporkan bahwa produksi sayur
mayur Sumatra ditolak masuk Singapura dengan alasan tingginya kandungan residu.
Bayi Cacat
Risiko tertinggi
keracunan pestisida ada pada petani yang secara langsung menyemprotkan residu. Namun dampak keracunan tidak langsung juga sama
berbahayanya. Sebuah jurnal medis melaporkan bahaya pestisida pada kelompok
awam dapat berupa;
1.
Paparan selama 3
bulan atau lebih selama kehamilan akan meningkatkan risiko keguguran. Publikasi ilmiah pernah melaporkan dalam jaringan tubuh
bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengonsumsi sayuran yang
disemprot pestisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi
tersebut cacat tubuh sekaligus cacat mental. Selain itu, bayi yang
dilahirkan juga beresiko terkena leukimia dan kecerdasannya akan bisa
terganggu.
2.
Bila terpapar sejak
kehamilan akan berpengaruh pada pembentukan janin dalam kandungan. Residu pestisida bisa menghambat pertumbuhan janin dan meningkatkan risiko
kelainan bawaan. Apalagi selama perkembangannya, janin belum mampu
mendetoksifikasi racun yang ada. Sementara otak dan sistem saraf sendiri masih
terus berkembang hingga anak berusia 12 tahun.
3.
Pada anak, paparan
pestisida dapat menurunkan stamina tubuh serta perhatian dan konsentrasinya.
Begitu pun memori dan koordinasi tangan mata yang terganggu, serta semakin
besar kesulitan anak dalam membuat gambar garis sederhana.
4.
Anak yang terpapar
residu pestisida sejak balita, ketika usia SD kecerdasannya akan berpengaruh.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Meksiko terhadap anak yang mengonsumsi
anggur disemprot pestisida dengan yang tidak, menunjukkan perbedaan kognitif
yang signifikan.
5.
Jangka panjang dari
paparan pestisida secara terus menerus dalam waktu sekitar 20-30 tahun akan
terjadi perubahan hormonal dan sistem reproduksi.Pada anak laki-laki
diistilahkan dengan demasculinisation, yaitu hilangnya sifat-sifat maskulin.
Sementara pada anak perempuan diistilahkan dengan definisasion. Jadi anak
mengalami perubahan orientasi seksualnya.
Melihat bahaya pestisida,
sudah sewajarnya jika harus berhati-hati. Bahkan seiring meningkatnya pemahaman
dan kepedulian masyarakat pada kesehatan, konsumsi pangan nir pestisida (pangan
organik) mulai banyak digemari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar