Jumat, 22 Februari 2013

Perang Candu Episode Keempat



(Note: Tulisan lama, tetapi masih relevan dan perlu dibaca)

Pada awal abad ke-19 Inggris kewalahan dalam neraca perdagangan dengan China. Inggris memerlukan teh dan sutra dari China, tetapi China tidak membutuhkan produk Inggris dan hanya mau dibayar tunai. Ini membuat cadangan dana Inggris berkurang.

Maka dicari siasat lain, meniru yang dilakukan Belanda terhadap penduduk Jawa tahun 1700-an. Saat itu Belanda memperkenalkan candu kepada penduduk Jawa, membuatnya ketagihan sehingga bersedia menjual hasil bumi dan tanahnya dengan harga amat murah. Selain kebutuhan rakyat China akan candu meningkat sehingga menguntungkan Inggris, rakyat China juga menjadi hancur karena ketagihan.

Mengetahui efek candu yang merusak rakyatnya, Raja China saat itu langsung menyetop masukan candu. Bahkan China kemudian menutup semua pelabuhannya bagi kapal-kapal dagang Eropa, kecuali Pelabuhan Kanton.

Atas perlakuan ini dan melihat tingginya tingkat ketagihan rakyat China akan candu, Inggris berani menyatakan perang. Satu per satu kota di sepanjang Sungai Yangtze jatuh ke tangan Inggris dan akhirnya China menyerah. Itu adalah episode pertama Perang Candu yang berlangsung tahun 1834-1842.


Melihat keberhasilan ini, negara-negara Barat lain mengikuti jejak Inggris. Semula China menolak dan hanya mematuhi perjanjian yang ditekankan Inggris. Meski bukan karena ingin dagang candu, perang China dengan Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Rusia di tahun 1850-an disebut sebagai Perang Candu karena rakyat China terus diperlemah melalui candu.
Sekali lagi, sekutu berhasil menekankan keinginannya secara sepihak. Kembali China harus tunduk kepada berbagai ketentuan yang menguntungkan negara-negara itu. Itulah Perang Candu episode kedua. Baik episode pertama maupun kedua, tujuannya bukan untuk menjadikan China jajahan negara-negara Barat, tetapi lebih kepada kepentingan perdagangan yang menguntungkan Barat, sekaligus melemahkan ketahanan rakyat China.

Perang Candu episode ketiga adalah seperti diceritakan Perdana Menteri Zhou Enlai kepada H Heikal (dalam buku Biografi Nasser). Menurut Heikal, Zhou Enlai (saat itu Perang Vietnam sedang pada puncaknya) mengatakan, ia akan menggunakan strategi perang candu dalam menghadapi AS. "Kalau dulu rakyat China dilemahkan melalui candu, kini kami akan melemahkan tentara AS dengan candu."

Maka secara berangsur tentara AS di Vietnam dibuat ketagihan candu, dan ganja, sehingga moral mereka hancur. Ucapan Zhou Enlai itu terbukti dengan kalahnya AS dalam perang Vietnam meski dalam persenjataan jauh lebih unggul. Inilah Perang Candu episode ketiga. Kali ini tujuannya lebih kepada tujuan kemenangan militer dan politik daripada perdagangan.

Episode keempat

Episode ini adalah perang candu yang lebih subtil tetapi berdampak lebih lama, dan tujuan utamanya lebih kepada dominasi ekonomi. Namun, jika perlu, mungkin dapat digunakan untuk tujuan politik ataupun militer. Episode inilah yang saat ini sedang berlangsung. Perang candu kali ini tidak hanya dilakukan dengan candu (morfin), tetapi juga dengan zat-zat lain yang dapat menimbulkan kecanduan. Caranya pun jauh lebih halus sehingga pemerintah di negara sasaran tidak merasa dikendalikan, bahkan ikut kecanduan dari hasil perdagangan zat itu.

Zat adiktif yang dipakai pun secara legal boleh diperdagangkan, yaitu tembakau. Semua orang tahu, tembakau merupakan zat yang dapat menimbulkan kecanduan. Juga diketahui, kecanduan rokok merupakan pintu masuk kecanduan narkotika.

Dalam pertemuan ASEAN untuk memerangi narkotika di Myanmar tahun 2005 lalu, seorang pakar dari Thailand menunjukkan hasil penelitian, 90 persen pencandu narkotika bermula dari kecanduan rokok, terutama jika kecanduan itu terjadi sejak usia anak-anak. Karena itu, disimpulkan, kalau mau memerangi kecanduan narkotika di kalangan remaja, harus diawali dengan memerangi kecanduan rokok di usia anak-anak.

Kini banyak negara, termasuk yang memproduksi tembakau dan rokok, melakukan pembatasan perdagangan rokok terutama untuk anak-anak. AS termasuk negara yang memproduksi rokok dan tembakau, tetapi melakukan pembatasan ketat di dalam negerinya. Mereka mendorong agar produk rokok diekspor ke negara lain, terutama yang tidak menyadari bahaya rokok bagi generasi muda.

Indonesia

Indonesia adalah negara penghasil tembakau dan rokok yang ingin menjadikan industri rokok sebagai industri unggulan. Untuk diekspor? Tentu tidak karena banyak negara yang kian ketat membatasi impor rokok. Jadi untuk konsumsi dalam negeri. Pemerintah, misalnya, enggan menaikkan cukai rokok dan memilih meningkatkan produksi untuk dapat meningkatkan pendapatan dari rokok (Kompas, 20/9/2007). Tujuannya, bagaimana pendapatan negara naik dan rakyat miskin dapat membeli rokok.

Konsekuensi peningkatan produksi adalah peningkatan pemasaran agar produk itu laku. Karena yang sudah kecanduan tidak perlu didorong lagi, perlu dicari konsumen baru, yaitu anak-anak dan remaja, karena sekali kecanduan, seumur hidup ia akan membeli rokok. Pemerintah tentu akan mendukung upaya pemasaran ini karena ingin menjadikan industri rokok sebagai unggulan. Akan makin banyak rakyat lebih memilih membeli rokok daripada menyekolahkan anak atau membeli protein untuk anaknya.

Cita-cita pemerintah menjadikan industri rokok menjadi unggulan tercapai, dengan mengorbankan generasi mendatang. Jumlah pencandu narkoba di antara remaja pun akan meningkat. Mereka akan makin lemah dan bangsa ini akan makin mudah dipaksa tunduk pada bangsa lain.

Kita akan kalah dalam perang candu episode keempat, bukan karena tekanan bangsa lain, tetapi karena pemerintah kita sendiri. Pemilik pabrik rokok akan makin kaya (tiga dari lima orang terkaya di Indonesia adalah pemilik pabrik rokok) dari uang orang miskin yang kecanduan rokok. Para elite politik hanya memikirkan kepentingan jangka pendeknya demi dukungan industri dalam kampanye tahun depan. Soal kesejahteraan rakyat dan ketahanan nasional? I don’t care.

Kartono Mohamad - Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Sumber Tulisan: Kompas, 3 Nov 2007
Sumber Gambar: Dari Sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar