(Note: Tulisan lama, tetapi masih relevan dan perlu dibaca)

Maka dicari siasat
lain, meniru yang dilakukan Belanda terhadap penduduk Jawa tahun 1700-an. Saat
itu Belanda memperkenalkan candu kepada penduduk Jawa, membuatnya ketagihan
sehingga bersedia menjual hasil bumi dan tanahnya dengan harga amat murah.
Selain kebutuhan rakyat China akan candu meningkat sehingga menguntungkan
Inggris, rakyat China juga menjadi hancur karena ketagihan.
Mengetahui efek candu
yang merusak rakyatnya, Raja China saat itu langsung menyetop masukan candu.
Bahkan China kemudian menutup semua pelabuhannya bagi kapal-kapal dagang Eropa,
kecuali Pelabuhan Kanton.
Atas perlakuan ini dan
melihat tingginya tingkat ketagihan rakyat China akan candu, Inggris berani
menyatakan perang. Satu per satu kota di sepanjang Sungai Yangtze jatuh ke
tangan Inggris dan akhirnya China menyerah. Itu adalah episode pertama Perang
Candu yang berlangsung tahun 1834-1842.
Melihat keberhasilan
ini, negara-negara Barat lain mengikuti jejak Inggris. Semula China menolak dan
hanya mematuhi perjanjian yang ditekankan Inggris. Meski bukan karena ingin
dagang candu, perang China dengan Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Rusia
di tahun 1850-an disebut sebagai Perang Candu karena rakyat China terus
diperlemah melalui candu.
Sekali lagi, sekutu
berhasil menekankan keinginannya secara sepihak. Kembali China harus tunduk
kepada berbagai ketentuan yang menguntungkan negara-negara itu. Itulah Perang
Candu episode kedua. Baik episode pertama maupun kedua, tujuannya bukan untuk
menjadikan China jajahan negara-negara Barat, tetapi lebih kepada kepentingan
perdagangan yang menguntungkan Barat, sekaligus melemahkan ketahanan rakyat
China.
Perang Candu episode
ketiga adalah seperti diceritakan Perdana Menteri Zhou Enlai kepada H Heikal
(dalam buku Biografi Nasser). Menurut Heikal, Zhou Enlai (saat itu Perang
Vietnam sedang pada puncaknya) mengatakan, ia akan menggunakan strategi perang
candu dalam menghadapi AS. "Kalau dulu rakyat China dilemahkan melalui
candu, kini kami akan melemahkan tentara AS dengan candu."
Maka secara berangsur
tentara AS di Vietnam dibuat ketagihan candu, dan ganja, sehingga moral mereka
hancur. Ucapan Zhou Enlai itu terbukti dengan kalahnya AS dalam perang Vietnam
meski dalam persenjataan jauh lebih unggul. Inilah Perang Candu episode ketiga.
Kali ini tujuannya lebih kepada tujuan kemenangan militer dan politik daripada
perdagangan.
Episode keempat
Episode ini adalah
perang candu yang lebih subtil tetapi berdampak lebih lama, dan tujuan utamanya
lebih kepada dominasi ekonomi. Namun, jika perlu, mungkin dapat digunakan untuk
tujuan politik ataupun militer. Episode inilah yang saat ini sedang
berlangsung. Perang candu kali ini tidak hanya dilakukan dengan candu (morfin),
tetapi juga dengan zat-zat lain yang dapat menimbulkan kecanduan. Caranya pun
jauh lebih halus sehingga pemerintah di negara sasaran tidak merasa
dikendalikan, bahkan ikut kecanduan dari hasil perdagangan zat itu.
Zat adiktif yang
dipakai pun secara legal boleh diperdagangkan, yaitu tembakau. Semua orang
tahu, tembakau merupakan zat yang dapat menimbulkan kecanduan. Juga diketahui,
kecanduan rokok merupakan pintu masuk kecanduan narkotika.
Dalam pertemuan ASEAN
untuk memerangi narkotika di Myanmar tahun 2005 lalu, seorang pakar dari
Thailand menunjukkan hasil penelitian, 90 persen pencandu narkotika bermula
dari kecanduan rokok, terutama jika kecanduan itu terjadi sejak usia anak-anak.
Karena itu, disimpulkan, kalau mau memerangi kecanduan narkotika di kalangan
remaja, harus diawali dengan memerangi kecanduan rokok di usia anak-anak.
Kini banyak negara,
termasuk yang memproduksi tembakau dan rokok, melakukan pembatasan perdagangan
rokok terutama untuk anak-anak. AS termasuk negara yang memproduksi rokok dan
tembakau, tetapi melakukan pembatasan ketat di dalam negerinya. Mereka
mendorong agar produk rokok diekspor ke negara lain, terutama yang tidak
menyadari bahaya rokok bagi generasi muda.
Indonesia
Indonesia adalah
negara penghasil tembakau dan rokok yang ingin menjadikan industri rokok
sebagai industri unggulan. Untuk diekspor? Tentu tidak karena banyak negara
yang kian ketat membatasi impor rokok. Jadi untuk konsumsi dalam negeri.
Pemerintah, misalnya, enggan menaikkan cukai rokok dan memilih meningkatkan
produksi untuk dapat meningkatkan pendapatan dari rokok (Kompas, 20/9/2007).
Tujuannya, bagaimana pendapatan negara naik dan rakyat miskin dapat membeli
rokok.
Konsekuensi
peningkatan produksi adalah peningkatan pemasaran agar produk itu laku. Karena
yang sudah kecanduan tidak perlu didorong lagi, perlu dicari konsumen baru,
yaitu anak-anak dan remaja, karena sekali kecanduan, seumur hidup ia akan
membeli rokok. Pemerintah tentu akan mendukung upaya pemasaran ini karena ingin
menjadikan industri rokok sebagai unggulan. Akan makin banyak rakyat lebih
memilih membeli rokok daripada menyekolahkan anak atau membeli protein untuk
anaknya.
Cita-cita pemerintah
menjadikan industri rokok menjadi unggulan tercapai, dengan mengorbankan
generasi mendatang. Jumlah pencandu narkoba di antara remaja pun akan
meningkat. Mereka akan makin lemah dan bangsa ini akan makin mudah dipaksa
tunduk pada bangsa lain.
Kita akan kalah dalam
perang candu episode keempat, bukan karena tekanan bangsa lain, tetapi karena
pemerintah kita sendiri. Pemilik pabrik rokok akan makin kaya (tiga dari lima
orang terkaya di Indonesia adalah pemilik pabrik rokok) dari uang orang miskin
yang kecanduan rokok. Para elite politik hanya memikirkan kepentingan jangka
pendeknya demi dukungan industri dalam kampanye tahun depan. Soal kesejahteraan
rakyat dan ketahanan nasional? I don’t care.
Kartono Mohamad - Mantan
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Sumber Tulisan: Kompas, 3 Nov 2007
Sumber Gambar: Dari Sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar