Seringkali
aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah
titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah
titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia
menitipkan padaku ?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?
Dan kalau bukan
milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ?
Adakah aku memiliki
hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut
itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai
petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu
adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa
nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak
kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku
Seolah
keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin
beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap
menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan
kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
Dan menolak keputusan-Nya
yang tak sesuai keinginanku
Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup
dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana
dan keberuntungan sama saja"
(Puisi terakhir Rendra yang dituliskannya
diatas ranjang RS)
gambar dari: http://www.graphicshunt.com/images
Tidak ada komentar:
Posting Komentar