Salah satu moda transportasi yang mengalami
pertumbuhan cukup signifikan adalah moda transportasi udara. Beberapa hal yang
ikut mendorong pertumbuhan tersebut antara lain munculnya low cost carrier dan iklim kompetisi dalam industri penerbangan
yang lebih sehat.
Namun dibalik pertumbuhan jumlah penumpang yang
pesat, tak pelak juga menyisakan sejumlah persoalan. Indikasinya adalah masih
jamaknya keluhan / komplain penumpang. Aneka ragam bentuknya, mulai dari
keluhan tentang tidak tepatnya waktu keberangkan dan kedatangan (on time permformace), kehilangan
bagasi, sampai harga tarif melangit – khususnya waktu peak dan hari besar keagamaan.
Dalam konteks masalah keterlambatan, belum lama ini
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun
2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara. Dalam aturan tersebut tidak hanya
mengatur masalah keterlambatan, aturan ini juga mengurai tentang ganti rugi
secara rinci bagi penumpang yang mengalami kecelakaan pesawat. Terbitnya aturan
ini juga sekaligus untuk memberikan kepastian hukum terhadap pengguna jasa
maskapai penerbangan. Hal ini merupakan jawaban atas perkembangan industri
pengangkutan udara yang berkembang pesat dan menimbulkan masalah terutama
terkait hukum.
Beberapa hal tentang ganti rugi yang dibahas dalam
Peraturan Menteri No 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara
diantaranya meliputi: ketentuan penumpang meninggal dunia di dalam pesawat
akibat kecelakaan udara diberikan ganti rugi Rp 1,25 miliar. Penumpang
meninggal dunia yang ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses
meninggalkan ruang tunggu hingga menuju pesawat, diberikan ganti rugi Rp 500
juta.
Sedangkan penumpang yang mengalami cacat tetap
akibat kecelakaan udara, ditetapkan dokter paling lambat 60 hari kerja
diberikan ganti rugi Rp 1,25 miliar, penumpang cacat tetap sebagian ganti rugi
diatur terperinci misalnya cacat satu mata Rp 150 juta dan lainnya. Penumpang
yang harus menjalani perawatan diberikan ganti rugi maksimal Rp 200 juta.
Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian
karena hilang atau rusaknya kabin. Kehilangan bagasi tercatat atau bagasi
tercatat musnah diberikan ganti rugi Rp 200 ribu per kilogram dan maksimal Rp 4
juta per penumpang. Keterlambatan penerbangan lebih dari empat jam diberikan
ganti rugi Rp 300 ribu per penumpang.
Secara konsepsi terbitnya aturan ini, dari
perspektif konsumen cukup positip, khususnya dalam pemenuhan hak konsumen atas
ketepatan waktu keberangkatan dan kedatangan, sebagaimana yang dijanjikan
maskapai penerbangan dalam jadwal.
Namun demikian, dalam level implementasi ada
beberapa hal yang perlu ada penjelasan lebih detail, sehingga tidak menimbulkan
multi tafsir dalam penerapan di lapangan, seperti :
Pertama, sebab-sebab keterlambatan bisa terjadi
karena kendala operasional dalam kendali operator dan faktor eksternal di luar
kendali operator. Aturan ini tidak jelas, apakan keterlambatan karena kendala
operasioal, faktor eksternal atau dua-duanya. Idealnya ada keterangan tambahan
yang membahas hal ini.
Kedua, ditentukan lama keterlambatan 4 jam lebih
mendapat ganti rugi Rp 300 ribu. Acuan mana yang di pakai menyangkut data untuk
menghitung keterlambatan. Data
konsumen atau data maskapai atau data pihak ketiga? bagaimana apabila data
waktu keterlambatan antara konsumen dan maskapai berbeda? Dan sejak kapan waktu
keterlambatan di hitung, apakah sejak pesawat meninggalkan apron atau sejak
pesawat take off ?
Ketiga, masalah ganti rugi Rp 300 ribu, apakah
diberikan dalam bentuk uang tunai atau voucher?
Kalau dalam bentuk voucher, berupa voucher sebagai alat pengganti uang
tunai. Atau voucher yang hanya bisa
dipakai ketika membeli produk/jasa pihak yang menerbitkan?
Sebelum menimbulkan permasalahan dalam implementasi,
alangkah baiknya jika Perturan Menteri tersebut dibarengi dengan penjelasan
tambahan agar tidak memunculkan penafsiran ganda di lapangan. Sebab, dalam
penafsiran ganda biasanya pihak konsumen yang dirugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar