Selasa, 30 Oktober 2012

Awas Jerat Kredit Konsumsi!



Sebelum memasuki swalayan ternama, bu Hindun dicegat oleh sales promotion girls yang menawarkan berbagai peralatan rumah tangga. Hebatnya barang yang ditawarkan selain terbilang modern, juga dengan mudah dapat diperoleh secara kredit. Tertarik dengan penawaran ditambah persyaratan mudah, ibu Hindun memutuskan untuk mengambil kredit barang. Rupanya tak hanya ibu Hindun, kredit barang itupun diserbu pengunjung lain.
Kendati hanya sebuah ilustrasi, namun gambaran diatas menunjukkan bahwa kredit saat ini tak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Budaya kredit nampaknya menjadi hal lazim yang bukan lagi dianggap aib. Kredit alias hutang yang dulu menjadi simbol ketidakmampuan (baca: kemiskinan), kini justru telah tumbuh subur menjadi salah satu metode untuk mendapatkan barang atau jasa. 

Jika dulu, orang berhutang karena keterpaksaan ekonomi atau menjadi alternatif terbaik diantara terburuk mana kala sumber dana lain sudah mulai mengering, saat ini hutang justru menjadi simbol status sosial. Kartu kredit, misalnya, yang sebenarnya ”kartu hutang” justru menjadi instrumen finansial mapan dan bergengsi, kaum profesional, dan simbol kesuksesan. Ironisnya, sebagian orang justru setuju dan berlomba-lomba mengejar status sosial ekonomi dengan cara berhutang. Terbatasnya sumber penghasilan tidak menghalangi seseorang untuk memiliki barang-barang mewah. Mulai dari rumah mewah, mobil ratusan juta, motor hingga barang-barang remeh temeh peralatan rumah tangga.

Tidak bertepuk sebelah tangan, nafsu konsumtif ini difasilitasi oleh lembaga keuangan maupun perusahaan penyedia jasa kredit dengan menawarkan cara kredit yang syaratnya ringan, proses cepat dan angsuran fleksibel. Bermodal kartu tanda penduduk, kartu keluarga, rekening listrik dan slip gaji (untuk pegawai), seseorang sudah lolos secara administrasi untuk mendapatkan kredit yang diinginkan. Pun demikian dengan model angsuran yang bisa disesuaikan berdasar kemampuan konsumen, baik dari segi jumlah maupun tenggang waktu. Segala kemudahan tersebut, tak urung membuat orang berlomba-lomba memiliki barang terbaru secara kredit. Orangpun tak malu-malu ”menandatangani” akad hutang di tempat umum. 

Secara riil, jumlah konsumen yang mangajukan kredit konsumsi memang sulit dihitung. Namun meningkatnya jumlah penghutang dari tahun ketahun dapat dilihat dari makin banyaknya perusahaan penyedia jasa kredit, serta ragam kredit yang ditawarkan. 

Bunga Tinggi

Kemudahan kredit berbanding lurus dengan tingginya bunga. Sebagai contoh di Adira (sumber: flyer Adira kredit), untuk nilai pembiayaan sebuah alat elektronik seharga empat juta rupiah, maka konsumen dikenakan angsuran sebesar Rp 747.000 (waktu 6 bulan), Rp 413.000 (12 bulan), Rp 382.000 (18 bulan) atau Rp 247.000 (24 bulan). Jila dihitung-hitung bunga yang ditanggung konsumen antara 1,8 hingga 4 persen perbulan dengan perhitungan secara rata-rata (flat).

Sementara untuk bunga kartu kredit yang dipatok oleh bank berkisar antara 2 hingga 3,5 persen perbulan dengan perhitungan bunga efektif (mengambang), yaitu bunga dihitung dari saldo terakhir, bukan berdasarkan total kredit pembelian. Jadi, pada kartu kredit, kebanyakan nilai pokok pinjaman sebagai dasar pengalian bunga, terus berkurang.

Bila dibandingkan dengan kartu kredit, memang kredit konsumsi terasa lebih mahal. Namun bila keinginan sudah membuncah, banyak yang tak peduli dengan beban bunga tinggi. Pertimbangan rasional kadang-kadang terabaikan hanya karena dorongan ego untuk segera memiliki barang sudah tak bisa ditahan. Total harga yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan cara pembelian kontan, tak juga mampu menghalangi. Hitung saja contoh diatas, dengan asumsi harga barang kontan Rp 4 juta, jika konsumen mengambil jangka kredit 12 bulan, maka total yang harus disetor adalah 413.000 x 12 = Rp 4.956.000. Jika ditambah uang muka, biaya administrasi plus biaya lain diluar perjanjian resmi, harga barang secara kredit bisa 150 persen dari harga kontan.

Selain bunga tinggi, konsumen juga menghadapi risiko lain. Misalnya penarikan barang jika menunggak angsuran dalam waktu tertentu. Praktek-praktek semacam ini yang luput dari perhatian konsumen akibat kondisi psikologis yang telah terbentuk sedemikan rupa ketika dihadapkan pada keinginan memiliki sebuah barang. Dorongan emosional konsumen acapkali diperkuat dengan kemampuan petugas pemasaran yang memikat dalam mengambil keputusan kredit konsumsi. 

Secara normatif, pembelian dengan kredit memiliki nilai tawar berbeda dengan pembelian kontan. Posisi tawar pembelian kontan jelas lebih tinggi, sehingga konsumen tak mudah didikte penjual. Sebaliknya pembelian secara kredit membuka peluang bagi penjual/penyedia jasa kredit untuk mengajukan syarat-sayarat mengikat. Dalam hal inilah konsumen dituntut lebih kritis dan teliti terhadap informasi kredit konsumsi. 

Kredit konsumsi memang sebuah dilema. Disatu sisi, nafsu konsumen untuk segera mendapatkan barang sesuai keinginannya segera terpenuhi meski dengan uang pas-pasan, namun disisi lain kredit konsumsi juga akan menjadi beban tambahan secara finansial bagi konsumen. Dibutuhkan kearifan dan rasionalitas berpikir konsumen. 



Klik Sumber Gambar

1 komentar: