Di kurun waktu dasawarsa terakhir, kecenderungan penyandang obesitas
(berat badan berlebih) tak hanya didominasi oleh mereka yang telah dewasa,
tetapi juga di kalangan anak-anak. Kecenderungan ini tidak saja
terjadi di Negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga pada Negara-negara
maju. Bahkan, kekhawatiran ini telah menjadi topik pembahasan dalam sidang
organisasi kesehatan dunia (WHO).
Gencarnya promosi pangan
“tidak sehat” yang ditujukan untuk anak, diyakini menjadi salah satu penyebab
tingginya obesitas. Berbagai jenis iklan makanan ringan, coklat permen,
minuman, nyata-nyata menargetkan anak-anak sebagai konsumennya.
WHO
mendefinisikan pangan tidak sehat sebagai pangan tinggi lemak, tinggi gula,
tinggi garam, dan atau rendah serat. Di Indonesia, sebuah lembaga perlindungan
konsumen, mempertimbangkan perlu ditambah dengan penggunaan bahan tambahan kimia
yang berlebihan. Meskipun WHO belum menetapkan angka tertentu yang dapat
digunakan sebagai batasan atau indikator pangan tidak sehat, beberapa negara
telah memiliki standar tersebut, diantaranya Inggris, Amerika dan Eropa.
Tinggginya
penjualan produk-produk pangan dengan kandungan lemak, gula dan garam yang
tinggi, ditambah dengan kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan anak-anak,
telah menyebabkan meningkatnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh pola
makan seperti penyakit jantung, diabetes, dan kanker. Penyakit-penyakit ini
sebenarnya merupakan jenis penyakit yang dapat dicegah apabila pola makan yang
sehat telah menjadi perhatian sejak dini.
Kegemukan
yang terjadi pada saat kanak-kanak, dapat dipastikan akan terus berlanjut
sampai dewasa, dengan risiko berbagai penyakit dan masalah kesehatan jangka
panjang. International Obesity Task Force
(IOTF) menyatakan, satu diantara sepuluh anak usia sekolah
mengalami kelebihan berat badan. Kondisi ini sama artinya dengan 155 juta anak
di dunia. Lebih jauh lagi, 22 juta anak usia di bawah lima tahun sudah
mangalami kelebihan berat badan dan kegemukan. Dengan berbagai risiko di atas,
upaya pencegahan agar tidak terjadi epidemi obesitas perlu dilakukan.
Obesitas bukan hanya masalah penduduk negara-negara maju.
Negara-negara
sedang berkembang, yang seringkali mencuatkan kasus gizi buruk atau kurang
gizi, ternyata juga tidak terlepas dari permasalahan obesitas ini. Justru
negara-negara miskinlah yang paling rentan. Globalisasi, akses informasi yang
terbuka lebar, persepsi bahwa gaya hidup ‘modern’ serta produk-produk yang
datang dari negara majulah yang lebih baik, merupakan salah satu pemicunya. Tidak
terkecuali Indonesia. Meski belum ada angka nasional, berbagai penelitian yang
dilakukan di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan gejala yang patut diwaspadai.
WHO menemukan
bukti-bukti bahwa iklan-iklan pangan yang mengandung lemak, gula dan garam
tinggi, memiliki efek langsung pada anak untuk mengonsumsi. WHO juga
memperlihatkan bahwa anak-anak jauh lebih memilih pangan kemasan yang bermerek
ketimbang yang tidak bermerek.
Celakanya, pangan
bermerek tersebut diproduksi oleh perusahaan multinasional dengan sistem bisnis
yang menggurita. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak segan-segan menggunakan
seluruh cara untuk menggiring anak mengonsumsi produk mereka. Promosi gencar,
iklan-iklan dan pemberian hadiah menarik
bagi anak, merupakan salah satu cara menggaet pasar anak. Sebuah majalah
pemasaran melaporkan, hanya dalam kurun satu tahun (2007) perusahaan-perusahaan
multinasional tersebut menghabiskan 7.9 milyar dolar untuk promosi pangan, 4
milyar dolar untuk minuman ringan, dan 1.1 milyar dolar untuk permen dan
coklat.
Meski
sebagian dari mereka mengklaim melakukan swaregulasi untuk mengatur
praktik-praktik promosi dan pemasarannya, kenyataannya ini tidak terlalu
efektif. Sulit dibantah, mereka cenderung mengikuti regulasi negara yang lebih
lemah dan longgar, dibandingkan mematuhi aturan internal yang lebih ketat.
Situasi ini
tentu harus dilawan dengan kebijakan internasional, agar anak-anak terlindungi
dari praktik pemasaran produk pangan yang dapat digolongkan tidak sehat ini. Oleh karena itu,
kampanye global digelar, agar WHO mengeluarkan kode internasional pemasaran
pangan untuk anak, seperti yang pernah dilakukan untuk produk pengganti air
susu ibu atau susu formula.
Gambar dari Sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar