Kamis, 01 November 2012

Anak dan Target Marketing Pangan



Di kurun waktu dasawarsa terakhir, kecenderungan penyandang obesitas (berat badan berlebih) tak hanya didominasi oleh mereka yang telah dewasa, tetapi juga di kalangan anak-anak. Kecenderungan ini tidak saja terjadi di Negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga pada Negara-negara maju. Bahkan, kekhawatiran ini telah menjadi topik pembahasan dalam sidang organisasi kesehatan dunia (WHO). 

Gencarnya promosi pangan “tidak sehat” yang ditujukan untuk anak, diyakini menjadi salah satu penyebab tingginya obesitas. Berbagai jenis iklan makanan ringan, coklat permen, minuman, nyata-nyata menargetkan anak-anak sebagai konsumennya. 

WHO mendefinisikan pangan tidak sehat sebagai pangan tinggi lemak, tinggi gula, tinggi garam, dan atau rendah serat. Di Indonesia, sebuah lembaga perlindungan konsumen, mempertimbangkan perlu ditambah dengan penggunaan bahan tambahan kimia yang berlebihan. Meskipun WHO belum menetapkan angka tertentu yang dapat digunakan sebagai batasan atau indikator pangan tidak sehat, beberapa negara telah memiliki standar tersebut, diantaranya Inggris, Amerika dan Eropa.



Tinggginya penjualan produk-produk pangan dengan kandungan lemak, gula dan garam yang tinggi, ditambah dengan kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan anak-anak, telah menyebabkan meningkatnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh pola makan seperti penyakit jantung, diabetes, dan kanker. Penyakit-penyakit ini sebenarnya merupakan jenis penyakit yang dapat dicegah apabila pola makan yang sehat telah menjadi perhatian sejak dini.

Kegemukan yang terjadi pada saat kanak-kanak, dapat dipastikan akan terus berlanjut sampai dewasa, dengan risiko berbagai penyakit dan masalah kesehatan jangka panjang. International Obesity Task Force (IOTF) menyatakan, satu diantara sepuluh anak usia sekolah mengalami kelebihan berat badan. Kondisi ini sama artinya dengan 155 juta anak di dunia. Lebih jauh lagi, 22 juta anak usia di bawah lima tahun sudah mangalami kelebihan berat badan dan kegemukan. Dengan berbagai risiko di atas, upaya pencegahan agar tidak terjadi epidemi obesitas perlu dilakukan.
 
Obesitas bukan hanya masalah penduduk negara-negara maju.
Negara-negara sedang berkembang, yang seringkali mencuatkan kasus gizi buruk atau kurang gizi, ternyata juga tidak terlepas dari permasalahan obesitas ini. Justru negara-negara miskinlah yang paling rentan. Globalisasi, akses informasi yang terbuka lebar, persepsi bahwa gaya hidup ‘modern’ serta produk-produk yang datang dari negara majulah yang lebih baik, merupakan salah satu pemicunya. Tidak terkecuali Indonesia. Meski belum ada angka nasional, berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan gejala yang patut diwaspadai.

WHO menemukan bukti-bukti bahwa iklan-iklan pangan yang mengandung lemak, gula dan garam tinggi, memiliki efek langsung pada anak untuk mengonsumsi. WHO juga memperlihatkan bahwa anak-anak jauh lebih memilih pangan kemasan yang bermerek ketimbang yang tidak bermerek.

Celakanya, pangan bermerek tersebut diproduksi oleh perusahaan multinasional dengan sistem bisnis yang menggurita. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak segan-segan menggunakan seluruh cara untuk menggiring anak mengonsumsi produk mereka. Promosi gencar, iklan-iklan  dan pemberian hadiah menarik bagi anak, merupakan salah satu cara menggaet pasar anak. Sebuah majalah pemasaran melaporkan, hanya dalam kurun satu tahun (2007) perusahaan-perusahaan multinasional tersebut menghabiskan 7.9 milyar dolar untuk promosi pangan, 4 milyar dolar untuk minuman ringan, dan 1.1 milyar dolar untuk permen dan coklat.

Meski sebagian dari mereka mengklaim melakukan swaregulasi untuk mengatur praktik-praktik promosi dan pemasarannya, kenyataannya ini tidak terlalu efektif. Sulit dibantah, mereka cenderung mengikuti regulasi negara yang lebih lemah dan longgar, dibandingkan mematuhi aturan internal yang lebih ketat.

Situasi ini tentu harus dilawan dengan kebijakan internasional, agar anak-anak terlindungi dari praktik pemasaran produk pangan yang dapat digolongkan tidak sehat ini. Oleh karena itu, kampanye global digelar, agar WHO mengeluarkan kode internasional pemasaran pangan untuk anak, seperti yang pernah dilakukan untuk produk pengganti air susu ibu atau susu formula.

Gambar dari Sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar