
Modus penipuan berkedok investasi-pun juga beragam, dari koperasi simpan
pinjam, arisan berantai, agrobisnis peternakan itik, sampai bank gelap yang
menjanjikan bunga 25 persen per bulan. Hampir sebagian besar mengobral janji
akan imbal balik investasi yang tinggi.
Modus penipuan terus mengalami perkembangan. Bahkan akhir-akhir ini marak
adanya pemasaran produk perjalanan umroh dan haji berkedok multi level
marketing (MLM). Lantas, bagaimana masyarakat harus menyikapi hal tersebut ?
Adakah perlindungan konsumen bagi peserta (anggota) ?
Sejarah Penipuan Investasi
Aksi penipuan berkedok investasi tidak serta merta muncul pada saat ini. Aksi
ini mempunyai sejarah panjang di luar negeri. Adalah aksi Charles Ponzi,
kemudian terkenal dengan skema Ponzi, melakukan penipuan berkedok investasi besar-besaran
di Amerika pada tahun 1919-1920 dan 1926-1934. Aksi penipuan investasi ini dengan
cara menjanjikan imbal balik luar biasa besarnya yang sebenarnya didapatkan
dari uang investor lain yang menginvestasikan uangnya belakangan. Artinya,
imbal balik bukan berasal dari hasil pengelolaan uang para investor tersebut.
Seiring dengan perkembangan waktu, masih dalam konteks penipuan berkedok
investasi, ada beberapa modus yang merupakan varian atau pengembangan skema
Ponzi. Pengembangan dimaksud seperti: (1) skema priamida dimana perekrutan
terhadap investor baru merupakan sumber dari pengembangan investasi perserta
sebelumnya; (2) arisan berantai, skema piramida yang disebarkan dalam bentuk
surat kaleng dan besaran investasi kecil; (3) tawaran investasi di sektor
agribisnis (misalnya; peternakan itik atau burung unta, perkebunan jati dan
sebagainya) dengan menjanjikan imbal balik minimal 300 persen dalam lima tahun;
(4) berkedok lowongan pekerjaan, yang mengharuskan peserta (anggota) untuk
membayar biaya pelatihan atau menyetorkan uang terlebih dahulu sebagai
prasyarat; (5) penipuan berkedok perdagangan valuta asing.
Berangkat dari sejarah panjang praktik penipuan berkedok investasi,
maraknya pemasaran produk perjalanan umroh dan haji berkedok multi level
marketing (MLM) harus disikapi secara kritis.
Sikap kritis konsumen dalam tahap pra-transaksi (tahap penawaran, promosi
dan iklan ), maka konsumen harus (1) Hati-hati dan jangan mudah tergoda
terhadap janji-janji surga yang ditawarkan biro perjalanan haji/umroh; (2)
Kumpulkan infomasi sebanyak mungkin tentang profil biro perjalanan, berikut
profil pengurus; (3) Usahakan meminta semua janji-janji dalam dokumen tertulis,
dan simpan baik-baik, apabila dikemudian hari ada masalah, dokumen tersebut
dapat menjadi evidence bagi konsumen
untuk menuntut hak-haknya;
Sedangkan sikap kritis konsumen dalam tahap transaksi berupa: (1) Yakinkan
bahwa sebelum melakukan transaksi, biro perjalanan haji/umroh telah memiliki kelengkapan
dokumen hukum atau perijinan, bila perlu klarifikasi ke instansi yang
mengeluarkan ijin, apakah masa berlaku ijin tersebut masih valid; (2) periksa
dengan teliti semua dokumen yang harus ditanda-tangani konsumen, ada tidaknya unfair term contract dalam perjanjian atau
dokumen.
Kontrak yang tidak fair contohnya seperti dalam klausula yang menyebutkan
bahwa biro pejalanan haji/umroh dibebaskan dari segala tanggungjawab hukum
apabila di kemudian hari dalam transaksi ini ada masalah.
Sikap kritis konsumen dalam pasca transaksi; (1) Penting adanya kejelasan
mekanisme complaint dan penyelesaian
sengketa; (2) Dalam hal ada indikasi biro perjalanan haji/umroh melakukan
pelanggaran hak-hak konsumen, jangan segan-segan melakukan complaint. Dengan complaint,
selain menuntut hak, juga menyelamatkan konsumen lain agar tidak mengalami
nasib sama dan sekaligus memberi pelajaran kepada biro perjalan haji/umroh; (3)
Apabila complaint ke biro perjalanan
haji/umroh tidak mendapat tanggapan atau mendapat tanggapan tetapi belum
menyelesaikan masalah, konsumen dapat meminta bantuan pihak ketiga untuk penyelesaian.
Pihak ketiga dimaksud seperti; Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau
Lembaga Konsumen setempat.
***
Ada dua dimensi dalam penyelenggaraan ibadah haji/umroh, yaitu aspek
ritual/spriritual dan supporting/bisnis.
Aspek supporting/bisnis antara lain
terkait transportasi, pemondokan dan catering. Dalam dimensi supporting inilah berpotensi terjadinya pelanggaran
hak-hak konsumen. Untuk itu perlu ada kesamaan persepsi, khususnya menyangkut
tingkat pelayanan antara konsumen dan penyelenggara perjalanan umroh/haji. Bagi
konsumen, besaran biaya penyelenggaraan haji/umroh idealnya berbanding lurus
dengan tingkat pelayanan yang diterima konsumen.
Gambar diambil dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar