PADA dasarnya ada dua kelompok masyarakat yang menentang regulasi pengendalian konsumsi rokok. Pertama,
industri rokok yang ketakutan bisnisnya akan tutup. Kedua, pencandu
rokok yang takut akan sulit mendapatkan rokok yang sudah menjeratnya. Di
antara kedua kelompok itu terdapat politisi dan birokrat korup yang
menikmati dana dari industri rokok.
Bahwa
industri rokok akan dengan senang hati mengucurkan uang agar tak ada
kebijakan yang membatasi geraknya, bukan rahasia lagi dan terjadi di
banyak negara. Kegerahan industri rokok akibat munculnya regulasi
pengendalian konsumsi rokok pertama kali terjadi di Amerika Serikat,
negara produsen rokok terbesar dunia. Itu dimulai setelah mencuatnya
penelitian-penelitian kesehatan yang membuktikan adanya kaitan antara
konsumsi rokok dan meningkatnya kanker paru-paru di AS.
Mulailah
muncul pendapat di kalangan Pemerintah AS untuk mengendalikan konsumsi
rokok. Industri rokok melawan pendapat itu dengan menyebarkan keraguan
dan sanggahan bahwa produk mereka tidak berbahaya bagi kesehatan.
Perlawanan itu dibarengi dengan penyebaran keraguan bahwa rokok dapat
menyebabkan kanker.
Namun,
kebohongan industri rokok terungkap setelah salah seorang peneliti
utama mereka membocorkan hasil-hasil penelitian industri rokok kepada
University of California San Francisco yang menerbitkannya menjadi buku
berjudul Cigarette Paper. Di awal 2000-an, industri rokok AS kemudian
divonis Mahkamah Agung sebagai ”industri penipu” dan telah melanggar UU
Racketeer Influenced and Corrupt Organizations—yang semula ditujukan
terhadap organisasi kejahatan seperti mafia—karena sebenarnya mereka
tahu bahaya rokok bagi kesehatan sejak 1950 seperti yang terungkap dari
dokumen-dokumen mereka.
Ketika
pasar rokok di dalam negeri terancam akibat berkurangnya jumlah perokok
dan meningkatnya tuntutan ganti rugi perokok terhadap industri rokok,
Pemerintah AS di bawah Presiden Bush mendorong dan membantu mereka
mencari pasar di negara lain, terutama negara berkembang. Oleh karena
itu, hampir tidak ada perwakilan AS di luar negeri yang mendukung
gerakan pengendalian rokok di negara tempat mereka bertugas. Dengan kata
lain, upaya mempertahankan pasar rokok AS di luar negeri adalah bagian
dari kepentingan AS juga, termasuk melakukan strategi pembohongan,
pembelokan isu, penolakan Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau
(Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), dan penyuapan.
Ide negara berkembang
Kerangka
Konvensi Pengendalian Tembakau disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) setelah banyak negara melihat bahwa penyakit yang terkait konsumsi
rokok kian meningkat. Usul ini bukan datang dari negara-negara maju,
melainkan dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia ketika itu
yang merasakan bahwa beban kesehatan mereka membengkak akibat penyakit
terkait rokok. Indonesia bahkan duduk sebagai anggota tim perumus yang
aktif.
Gagasan
konvensi ini lalu didukung negara-negara Eropa yang juga merasakan hal
serupa. Konvensi ini makin mewujud ketika WHO dipimpin oleh Gro Harlem
Brundtland, mantan PM Norwegia. Pemerintah AS, di bawah Presiden Bush,
justru menolak konvensi ini karena takut pasar industri rokok di luar
negeri terancam. Brundtland mengatakan, ”Inilah pertama kali WHO membuat
kesepakatan besar yang berbasis bukti.”
Industri
rokok besar menolak dengan dalih ”biarkan setiap negara mengatur
sendiri soal pasar rokok ini, jangan WHO ikut campur”. Pandangan yang
neoliberalistik. Perlawanan industri rokok tidak selamanya dilakukan
secara frontal. Mereka menggerakkan front runner seperti membentuk
asosiasi perokok di banyak negara dan International Tobacco Growers
Association (ITGA) yang Indonesia ikut menjadi anggotanya.
Dengan
menggunakan front runner, industri rokok berusaha mengalihkan isu
kesehatan jadi isu hak perokok dan ancaman terhadap petani tembakau.
Sudah tentu disertai upaya menyuap para politisi untuk mencegah
terbentuknya peraturan yang hendak mengendalikan konsumsi rokok. Di AS,
wartawan berhasil mengungkap bahwa mereka menyuap calon presiden dari
Partai Republik, Robert Dole, sebesar 477.000 dollar AS. Dole dalam
kampanyenya sangat antusias membela industri rokok ketika Clinton justru
ingin mengendalikan rokok demi melindungi kesehatan rakyat.
Di
Indonesia pun banyak politikus yang ”terbeli” dan percaya bahwa FCTC
akan mematikan petani tembakau tanpa menyebutkan pasal mana yang
menyatakan demikian. Tampak bahwa penolak FCTC di Indonesia bersuara
tanpa dia sendiri membaca isi FCTC. Kecuali Siswono Yudo Husodo yang
menyebut bahwa Pasal 17 dan 26 FCTC mengancam kehidupan petani
tembakau.
Mari
kita simak Pasal 17 FCTC, yang berbunyi: ”Negara penanda tangan saling
bekerja sama atau dengan organisasi antarpemerintah, jika dipandang
perlu promote usaha alternatif yang menguntungkan untuk pekerja
tembakau, petani tembakau dan, jika diperlukan, juga penjual tembakau”.
Dari
pasal ini tak ada kata atau kalimat yang hendak mematikan petani
tembakau. Kata promote dapat berarti menawarkan, memperkenalkan, atau
paling keras menganjurkan, tetapi sama sekali tidak mengandung makna
menghapuskan atau mematikan. Kata kunci di sana adalah economically
viable, yang artinya jika petani tembakau masih merasa nyaman dan untung
dengan bertani tembakau, ya, biarlah mereka bertani tembakau.
Adapun
Pasal 26, khususnya ayat 3, yang oleh Siswono juga dicurigai untuk
mematikan petani tembakau, sebenarnya mem- bahas tentang saling bantu
pendanaan. Pasal ini juga tidak mengandung kalimat, baik tersurat maupun
tersirat, akan mematikan pertanian tembakau. Kata kunci ayat ini
adalah economically viable, crop diversification, in the context of
nationally developed strategies of sustainable development. Perhatikan
kata nationally yang artinya terserah kepada kepentingan setiap negara.
Kata
diversifikasi tanaman tidak juga berarti mematikan tembakau dan
menggantinya dengan tanaman lain. Diversifikasi lebih berarti
memperbanyak ragam tanaman, bukan hanya tembakau. Namun, jika ada petani
tembakau yang ingin alih tanam, ia harus didukung dan dicarikan tanaman
alternatif yang menguntungkan.
Industri
rokok besar dan multinasional memang berusaha menolak FCTC dengan
segala akal. Mulai dari mencoba mengaitkannya dengan sentimen
nasionalisme—sementara mereka sendiri mencari keuntungan untuk dirinya
atau negara lain, memanfaatkan ketidaktahuan petani tembakau tetapi juga
menindas mereka—sampai menyuap politikus dan birokrat.
KARTONO MOHAMAD, Mantan Ketua PB IDI
Artikel ini diambil dari harian Kompas cetak, Rabu 12 Maret 2014 hal 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar