Dalam buku Pak Beye dan Istananya, Wisnu Nugroho menulis tentang kehadiran sebuah mobil Rolls-Royce di Istana dengan nomor polisi 234. Wisnu juga menyiratkan bahwa mobil mewah tersebut milik pengusaha rokok terkenal di Indonesia, Sampoerna.
Sebagaimana
diketahui, merek 234 (Djie Sam Soe) adalah salah satu merek rokok produksinya.
Wisnu juga menyindir para perokok yang ikut menyumbang pengusaha itu untuk
dapat membeli Rolls-Royce tanpa ikut menikmatinya. Entah mengapa ia juga
menulis bahwa Kepala BIN waktu itu akan menemani para perokok.
Tentu
saja wajar ada kedekatan antara Presiden dan pengusaha kaya atau ada pengusaha
yang berusaha dekat dengan Presiden. Kedekatan yang bisa bersimbiosis mutualistis
karena keduanya sama-sama mempunyai kekuatan yang saling dibutuhkan. Namun,
hubungan Presiden SBY dengan Sampoerna ini menjadi makin menarik kalau Anda
juga membaca tulisan Wisnu di Kompasiana.com bulan Maret 2009. Di sana Wisnu menulis tentang kunjungan SBY ke
pabrik rokok milik PT Sampoerna dan kunjungan khusus ke stan PT Sampoerna di
sebuah pameran. Bukan hanya itu, SBY juga meresmikan berdirinya pabrik
ke-31 milik Sampoerna. Wisnu mencoba mengupas angka 31 itu sebagai 9 + 9 + 4 +
9 yang merupakan tanggal lahir SBY dan juga nomor Partai Demokrat dalam Pemilu
2009.
Tulisan ini bukan dimaksudkan mengupas buku Wisnu
Nugroho. Sebaliknya, dua tulisan Wisnu itu mengingatkan saya pada strategi
industri rokok internasional agar bisa berjaya di Indonesia. Strategi yang
disusun Michael J Thompson dari The Tobacco Institute, Selandia Baru, tahun
1991 dan upaya BAT tahun 1992 untuk memengaruhi agar dalam undang-undang
kesehatan yang sedang disusun tidak mencantumkan nikotin sebagai zat adiktif.
Tahun 1992 itu industri rokok berhasil ”mengundang” anggota DPR penyusun
undang-undang kesehatan dan pejabat Departemen Kesehatan ke Bali. Hasil
”kesepakatan Bali” itu adalah hilangnya kata ’nikotin’ sebagai zat adiktif dari
Rancangan Undang-Undang Kesehatan tahun 1992.
Strategi industri
Dalam buku Cigarette Century tulisan Allan M Brandt
disebutkan, sejak aturan mengenai rokok di Amerika Serikat dan Inggris makin
ketat, industri rokok mereka mulai melirik pasaran di negara yang masih lemah
dalam pengaturan. Upaya tersebut didukung oleh Pemerintah AS yang ikut melobi
negara-negara lain berdasarkan kesepakatan perdagangan bebas. Jepang dan Korea
pada akhirnya mau membuka pasar mereka untuk rokok AS.
Hanya Thailand yang sangat sulit untuk membuka pasarnya
bagi rokok impor. Connoly GN
dari Departemen Kesehatan Massachusetts menulis: Trade barriers in the developing
world prevent foreign cigarette companies from entering. TTCs (Transnational
Tobacco Company) employ various techniques to force open those markets,
including trade pressure from the US govern- ment. Once the market is open,
Western cigarette advertising and promotions target nonsmoking women and
children.
Michael
J Thompson, penyusun strategi untuk Indonesia, mendapat dana dari Rothmans Holdings Ltd,
sebuah industri rokok internasional yang berpusat di AS.
Strategi
itu antara lain memuat: 1) perlunya menyatukan gabungan perusahaan rokok antara
Gaprindo (pengusaha rokok putih) dan Gabri (pengusaha kretek) untuk memudahkan
penyatuan gerakan; 2) melobi politisi dan pemerintah dengan menekankan ancaman
ekonomi jika rokok dibatasi; 3) mencermati kegiatan WHO; 4) mensponsori
kegiatan olahraga (bahkan juga catur), kegiatan sekolah, dan mode (fashion); 5)
mengamati kelompok antirokok, termasuk yayasan jantung, yayasan kanker, lembaga
konsumen, dan kelompok agama; 6) menjalin hubungan dengan media massa; 7)
membayar pengacara untuk menghadapi kemungkinan litigasi; 8) membayar peneliti
yang mendukung, termasuk membuktikan bahwa pencemaran asap rokok lebih kecil
dibanding pencemaran oleh kendaraan bermotor di Jakarta; 9) mengembangkan
metode beriklan; dan 10) membentuk kelompok pembela hak perokok.
Dari
berbagai strategi tersebut, yang paling menarik adalah lobi kepada politisi dan
pejabat pemerintah. Di sana dikatakan ”industri rokok di Indonesia terbukti mampu melobi pejabat pemerintah,
antara lain mencegah agar peringatan merokok yang rencana semula berbentuk
gambar dan diganti-ganti (rotating health warnings) menjadi hanya berbentuk
teks yang sederhana”. Di negara lain, peringatan merokok sudah lama berbentuk
gambar.
Thompson
juga melaporkan bahwa ia sudah menyusun peta alur (flow chart) lobi pada
pengambil keputusan yang menguntungkan industri, terutama dengan menteri
keuangan, perindustrian, perdagangan, pertanian, dan menko ekuin. Ini masih
ditambah dengan menyusun sistematisasi lobi ”maju” (advance lobbying) dengan
para pejabat. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan advance lobbying itu.
Juga
disebutkan perlunya menjadikan politisi dan pejabat pemerintah sebagai sekutu (ally)
dari industri rokok. Kemudian dia sebut pejabat-pejabat yang secara potensial
dapat menjadi sekutu mereka. Di antaranya ada beberapa menteri dan departemen,
termasuk Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Kini dengan adanya perubahan
pemegang kekuasaan yang tidak lagi hanya eksekutif, tetapi juga legislatif,
tentunya mereka juga melihat anggota parlemen sebagai potential ally, yang
perlu advance lobby.
Indonesia yang terkenal sangat lembek, cukup dilobi
industri rokok sudah tekuk lutut tanpa perlu Pemerintah AS turun tangan. Keberhasilan mereka tampak dari keengganan
pemerintah menandatangani FCTC yang disepakati oleh Konferensi Negara Islam di
Kuala Lumpur yang juga dihadiri Presiden SBY, ditambah keengganan mengeluarkan
peraturan pemerintah tentang rokok. Apalagi kalau yang berhasil dilobi tingkat
yang lebih tinggi seperti yang disiratkan Wisnu Nugroho.
Tidak
sia-sia Rothmans membayar Michael J Thompson merancang strategi sejak tahun
1991. Mereka berhasil membuat pemerintah membiarkan rakyat teracuni rokok
sambil membayari Rolls-Royce. Rakyat hanya diperlukan ketika pemilu, sementara
pengusaha diperlukan sepanjang masa jabatan. Soalnya, begitu habis masa
jabatan, tak ada lagi pengusaha mendekat.
Penulis: Kartono Mohamad (Pengamat Kesehatan)
Sumbertulisan: Kompas.com. Jumat, 17 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar