Jumat, 24 Februari 2012

Perempuan dalam Jeratan Iklan



Iklan dan perempuan, di era globalisasi dan kapitalisme sekarang ini ibarat sekeping mata uang. Keduanya saling melengkapi. Dunia periklanan tanpa sosok perempuan, akan terasa “kering”, kurang hangat dan tidak menarik. Daya tarik fisik wanita – terlepas dari soal pro dan kontra pelecehan terhadap eksistensi wanita – adalah ”modal utama” produk massal bernama visualisasi produk, pencitraan, brand image, selling dan sebagainya yang dikemas dalam satu kata: Iklan, dengan nilai milyaran rupiah. Dunia iklan membutuhkan sosok perempuan, sebab perempuan mempunyai potensi besar sebagai pendorong lahirnya pola konsumsi, sekaligus target utama atas barang-barang konsumsi.

Sebagai pelaku dalam bisnis iklan, peran dan fungsi perempuan tidak lain merupakan kepanjangan dari strategi pemasaran perusahaan baik yang berskala lokal, regional, nasional, maupun multinasional. Citra perempuan sebagai model iklan, dengan demikian, ikut melekat bersama brand image dari barang atau jasa yang diiklankan. Lantas citra atau sosok perempuan macam apa yang ikut membentuk, mempertahankan dan meningkatkan brand atau product image

Tak sulit untuk menjawab pertanyaan diatas. Karena yang hendak dibentuk adalah citra produk yang menggambarkan simbol-simbol kesuksesan, kemewahan, keanggunan, gairah hidup, dan sebagainya, maka sosok yang dipilih sebagi model iklan adalah mereka yang umumnya secara fisik mewakili gambaran atau simbol-simbol tersebut. Tipologi perempuan model iklan biasanya memiliki kapasitas sebagai public figure yang secara langsung atau tidak menjadi tokoh panutan kaum perempuan lainnya. Artinya, model iklan yang dipilih harus bisa berfungsi sebagai patron atau panutan.

Saat ini, tak terlalu sulit untuk menemukan sosok perempuan yang memenuhi kriteria panutan bagi sesama kaumnya. Artis sinetron, penyanyi, pemusik, adalah sosok ideal bagi upaya memperteguh citra sebuah barang atau jasa yang diiklankan. Mereka mewakili kelompok masyarakat yang ”berada dan beruang”. Dan dalam iklim kapitalisme yang sedang marak, sosok demikian adalah kerinduan tersendiri bagi lapisan atau strata bawah yang sedang dihimpit kesulitan ekonomi, ketidakadilan, pelecehan dan pelanggaran hak-hak sipil. Model iklan dari kalangan selebritis adalah sebuah impian, harapan dan cita-cita masa depan yang mampu mengubah gadis belia menjadi sosok perempuan tenar, berharta dan dikagumi.

Perempuan dan iklan bukanlah sekedar fenomena ekonomi industri periklanan, tetapi juga fenomena sosial-politik, psikologis dan kultural. Namun, sebagai fenomena, ia juga sarat dengan tragedi, yakni makin kuatnya kecenderungan kaum perempuan untuk secara sadar dijadikan atau menjadikan dirinya sebagai obyek. Iklan produk dikemas dalam nuansa yang menggambarkan aurat dan penuh dengan eksploitasi seksual adalah cermin betapa wanita bangga akan status barunya, yaitu obyek kapitalisme dan pemirsa. 

Mungkin mereka tidak merasa telah menjadi korban eksploitasi atau pelecehan seksual. Akan tetapi argumen ini juga bisa berarti bahwa mereka secara tidak sadar mengakui perannya sebagai model iklan produk tersebut berpotensi atau mengindikasikan adanya pelecehan seksual. 

Dehumanisasi Konsumen

Suka tidak suka, mau tidak mau, keberadaaan perempuan dalam iklan ikut mempengaruhi dan mengubah pola konsumsi perempuan kita. Dalam arus budaya massa yang melaju kencang dan nyaris tak terkendali, perempuan dan iklan adalah simbiosis mutualisme sistem pemasaran yang paling efektif. Iklan, khusunya di media audio visual, merupakan medium persuasi-sugestif yang sanagt ampuh. Sedang perempuan dalam iklan merupakan sosok public figure yang punya nilai panutan cukup tinggi. Gabungan kedua unsur tersebut menghasilkan sebuah sinergi komunikasi yang maha dahsyat, karena model iklan perempuan tidak saja merayu, membujuk bahkan ”memaksa” kaumnya, tetapi juga pada anak-anak dan suami-suami mereka dirumah.

Sebagai manajer keuangan rumah tangga, perempuan masa kini – lebih-lebih yang memiliki penghasilan sendiri – mempunyai akses dan kemampuan untuk merumuskan sendiri pola konsumsi keluarganya. Perempuan ini mempunyai otoritas lebih besar daripada pria untuk menunda, membatalkan, atau membeli sesuatu kebutuhan rumah tangga, khususnya untuk produk-produk consumer goods.

Namun, posisi strategi ini juga menyimpanan kerawanan, yakni bila mereka tidak mampu mengontrol pola konsumsinya, anggaran rumah tangga bisa ambruk. Sebab perempuan masa kini tak hanya diiming-imingi produk bagus yang dipajang di rak-rak swalayan, tetapi juga datang melalui arisan, penjualan door to door, dan banyak cara lagi.

Perubahan pola konsumsi akibat iklan setidaknya bisa dibedakan dalam tiga arus;

Pertama; rasionalisasi atau upaya pembenaran penigkatan kebutuhan primer. Secara riil, kebutuhan seorang perempuan dan keluarganya sebenarnya sudah terpenuhi dan tercukupi, misalnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi secara sosial dan psikologis, ia mungkin perlu memperbaiki performance (baca: gengsi) kebutuhannya. Ketika makanan dirumah telah dianggap out of date, ia mungkin perlu mengunjungi restoran fast food. 

Kedua, imitasi atau ”peniruan”. Dalam lapangan psikologi, imitasi merupakan proses meniru atau ingin berperilaku seperti orang lain yang merupakan dorongan intrinsik dari alam bawah sadar. Proses meniru ini gampang sekali melanda wanita yang mekanisme pertahanan dirinya rendah, sehingga tak bisa mengukur kemampuan dan kebutuhan konsumsinya. Contoh yang mudah adalah ibu-ibu yang latah membeli gaun model terbaru hanya karena tak mau kalah dengan ibu-ibu lain yang sudah lebih dulu menggunakannya.

Proses imitasi yang sudah mencapai taraf gawat adalah apabila perempuan sudah tidak bisa lagi membedakan kebutuhan primer dengan kebutuhan sekunder dan substitusi, atau tidak bisa menetapkan kebutuhan untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Ketiga, kompensasi atau upaya penggantian secara semu pada suatu kebutuhan yang tak sanggup dipenuhi oleh kebutuhan yang lain sebagai penggantinya. Bisa jadi pola konsumsi seorang perempuan atau ibu rumah tangga adalah karena dorongan dalam dirinya yang ingin berbuat ”lebih baik” pada anggota keluarga. Ibu yang ”baik ” ini tak segan membelanjakan uangnya untuk membeli mainan, baju mahal, gadget, atau bahkan mobil sebagai kompensasi atas kegagalannya mencurahkan cinta sejati pada anak-anaknya. Ketidaksanggupan mencintai anak secara total, akibat keterbatasan waktu, karir, kondisi fisik (misalnya capai kerja), dikompensasi dalam bentuk pemberian produk-produk konsumsi untuk buah hatinya.

Keempat, gengsi atau prestis sosial. Bukan rahasia jika materi mempunyai nilai sosial. Makin banyak atau makin bernilai materi yang dimiliki, maka makin tinggi status sosialnya. Paradigma yang salah tetapi sudah menjadi ”benar” dan umum ini, merupakan gejala yang mudah dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta. Anak-anak Jakarta masa kini betapa mudahnya bermain dengan smartphone teranyar pemberian orang tuanya. Karena bagi orang tua merupakan kebanggaan bila mampu membelikan gadget mahal untuk anak-anaknya, kendati mereka juga tahu bahwa daya guna dan fungsi gadget tersebut sangat tidak efisien dibandingkan dengan harga dan tagihan pulsanya.

Haryanto NL
artikel dari majalah Warta Konsumen No 12/XXXVII/2011

4 komentar:

  1. (re)posting yang cerdas kawan,, salam kenal :D

    BalasHapus
  2. Yah strategi pasar emang kebanyakan pakai model wanita dalam iklannya. Yang penting menarik orang dulu untuk melihat sosok wanitanya, setelah itu iklannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kadang malah iklan yang disampaikan ga nyangkut. modelnya yang tambah ngetop ...hehehe. Trims dah mampir

      Hapus